Iket merupakan warisan budaya yang luhur nilainya, harus kukuh dipegang sebagai wujud simbolis keutuhan hidup. Begitu juga bagi urang Sunda sendiri, apakah hanya membanggakan luarnya saja sebagai bentuk indentitas, atau lebih mementingkan isinya. Menurut Dr. Ir. Thomas NIX, peneliti dari Belanda (Stedebouwin Indonesia Rotterdam, 1949), leluhur masyarakat Indonesia, hususnya Pulau Jawa, sudah mewariskan kearifan lokal dalam segala unsur kehidupan.
“Nu lima diopat keun, nu opat ditilu keun, nu tilu didua keun, nu dua dihiji keun, nu hiji jadi kasép“ (yang lima dijadikan empat, yangempat dijadikan tiga, yang tiga dijadikan dua, yang dua dijadikansatu, yang satu jadi tampan), kalimat yang diucapkan budayawan Jakob Sumarjo ini, tentunya harus direnungi bagi setiap pemakainya. Bukan sekedar gaya, tapi harus dipahami makna dibalik lipatannya. Ketika dari lima menjadi satu, maka individu berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan yang satu.
Melihat fenomena yang muncul kini, iket semakin tren di kalangan anak muda. Dengan berbagai motif dan gaya pemakaian. Bisa jadi dilator belakangi oleh kerinduan terhadap nilai tradisional yang semakin tergerus oleh modernisasi. Atau hanya sekedar pencitraan identitas tanpa pemaknaan.
Meskipun demikian, harus jadi kebanggaan bersama dengan diarahkan pertanggung-jawabannya, bahwa mengenal dan memaknai kembali kebudayaan Sunda tidak harus secara paksa. Tapi, diawali dengan kesadaran kecintaan melalui iket. Dengan cara itu, iket tidak akan kalah dengan ikat kepala/syal bergambar grup musik barat.
“Nu lima diopat keun, nu opat ditilu keun, nu tilu didua keun, nu dua dihiji keun, nu hiji jadi kasép“ (yang lima dijadikan empat, yangempat dijadikan tiga, yang tiga dijadikan dua, yang dua dijadikansatu, yang satu jadi tampan), kalimat yang diucapkan budayawan Jakob Sumarjo ini, tentunya harus direnungi bagi setiap pemakainya. Bukan sekedar gaya, tapi harus dipahami makna dibalik lipatannya. Ketika dari lima menjadi satu, maka individu berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan yang satu.
Melihat fenomena yang muncul kini, iket semakin tren di kalangan anak muda. Dengan berbagai motif dan gaya pemakaian. Bisa jadi dilator belakangi oleh kerinduan terhadap nilai tradisional yang semakin tergerus oleh modernisasi. Atau hanya sekedar pencitraan identitas tanpa pemaknaan.
Meskipun demikian, harus jadi kebanggaan bersama dengan diarahkan pertanggung-jawabannya, bahwa mengenal dan memaknai kembali kebudayaan Sunda tidak harus secara paksa. Tapi, diawali dengan kesadaran kecintaan melalui iket. Dengan cara itu, iket tidak akan kalah dengan ikat kepala/syal bergambar grup musik barat.
0 comments:
Posting Komentar